Minggu, 24 Februari 2013

MENJAGA HATI SEBAGAI UPAYA MENCAPAI KEHARMONISAN KELUARGA

MENJAGA HATI SEBAGAI UPAYA MENCAPAI KEHARMONISAN KELUARGA *Nono Robiharjo, S.Th., I. PRAWACANA Kata orang bijak bahwa ‘hati’ merupakan jendela kehidupan. Dimana jendela berfungsi untuk melihat dunia di sekitarnya. Yang pasti disini bahwa hati adalah pusat kehidupan manusia, karena segala proses keputusannya terjadi di seputar hati. Jika hati kita bermasalah maka hidup ini akan penuh dengan masalah. Namun jika hati kita beres maka semuanya bisa menjadi beres. Kesuksesan anda ditentukan oleh hati anda. Your succes is determined by your heart. So, open your heart and make up your mind agar hidup ini lebih indah untuk dinikmati dan lebih bermakna bagi diri sendiri, juga bagi orang lain. Amsal 4:23 mengatakan: Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan. (TB) Frase Jagalah hatimu dalam versi King James Version (KJV) Strong’s Hebrew and Greek Dictionaries. e-Sword–the Sword of the LORD with an electronic edge ditulis dengan “Keep thy heart.” Keep (H5341): נצר (nâtsar: naw-tsar') A primitive root; to guard, in a good sense (to protect, maintain, obey, etc.) or a bad one (to conceal, etc.): - besieged, hidden thing, keep (-er, -ing), monument, observe, preserve (-r), subtil, watcher (-man). (Menjaga: menjaga, dalam hal yang baik (spt: melindungi, memelihara, menaati dsb) atau hal yang negatif (spt: menyembunyikan dsb): dikepung, hal yang tersembunyi, penjaga, penjagaan, monument, memperhatikan, menyajikan, mengamati). Sementara kata ‘keep’ dalam Kamus Inggris Indonesia memiliki 9 arti, yakni menjaga, memelihara, membuat catatan, menyimpan, menerima, menunjukkan, turut, menahan, terus. Dan guard memiliki arti pengawal, penjaga, penjagaan, kunci (John M. Echols, Gramedia Pustaka Jakarta, 1990. hal 340; 282) thy heart (H3820): לב (lêb: labe) A form of H3824; the heart; also used (figuratively) very widely for the feelings, the will and even the intellect; likewise for the centre of anything: - + care for, comfortably, consent, X considered, courag [-eous], friend [-ly], ([broken-], [hard-], [merry-], [stiff-], [stout-], double) heart ([-ed]), X heed, X I, kindly, midst, mind (-ed), X regard ([-ed)], X themselves, X unawares, understanding, X well, willingly, wisdom. (Hatinya: hati, juga digunakan secara luas mengenai perasaan-perasaan, kehendak dan bahkan intelektual; demikian juga pusat segala sesuatu: - + memelihara, dengan nyaman, mengijinkan, mempertimbangkan, keberanian, keramahan, ([patah h.], [keras h.], [h. yg gembira], [kukuh h.], [gagah berani], ganda) perhatian, baik, tengah-tengah, pikiran, hormat, pemahaman, kehendak, kebijakan). Kata ’hati’ berpadanan dengan kata Ibrani lêb (lamed-sere-bet, baca: lev) atau lebab (lamed-sere-bet-qames-bet, baca: levav), yang dibentuk dari akar kata lb (lamed-bet). Dalam piktograf Ibrani kuno, huruf “lamed” adalah gambar tongkat gembala yang melambangkan ide “otoritas” atau “yang berkuasa”. Sedangkan huruf “bet” adalah gambar denah bagian dalam tenda yang antara lain berarti “di dalam”. Gabungan dua piktograf itu, lb (lamed-bet) atau “hati”, berarti “yang berkuasa di dalam”. Hati memiliki kuasa atau otoritas untuk menentukan langkah hidup kita. Dalam terjemahan Firman Allah Yang Hidup dikatakan “… hatimu mempengaruhi segala sesuatu dalam hidupmu.” (Ams 4:23, FAYH). Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita dipengaruhi dan dikendalikan oleh hati. Hati menentukan semua hal dalam hidup manusia. Baik itu sikap, pikiran, keinginan, perilaku, tutur kata, iman, dan lain-lain ditentukan oleh hati. Oleh sebab itu hati kita perlu dijaga dengan segala kewaspaadaan (with all diligence, KJV) dan penuh ketekunan (with all diligence, NKJV) serta penuh perhatian (with all care, BBE), ”... sebab hatimu menentukan jalan hidupmu.” (BIS). Bahkan dalam versi Jawa dikatakan “Sing ngati-ati bab apa sing kok pikir. Sebab uripmu kuwi ditata déning pikiranmu.” (Ams 4:23, JAWA). Apa yang kita pikirkan menentukan kehidupan kita. Atau dengan kata lain apa yang kita pikirkan dalam hati, itulah kita, “For as he thinks in his heart, so is he.” (Proverbs 23:7a, NKJV) Hati adalah dasar karakter dan tindakan kita. Bila hati kita belum diperbaharui maka kondisi hati kita adalah seperti yang terdapat dalam Injil Markus 7:21-23 dan Matius 15:18-19, yakni hati yang jahat. Itulah sebabnya Tuhan mau perbaharui hati kita dan ketika hati kita sudah diperbaharui maka tugas kita adalah menjaganya dengan seksama, dengan segala kewaspadaan, dengan terus menerus supaya tetap bersih dari kebencian, iri hati, dendam agar hati kita berkenan dihadapanNya. Yeheskiel 36:26 berkata, ”Kamu akan Kuberikan hati yang baru (New [H2319] חדשׁ [châdâsh - khaw-dawsh'] From H2318; new: - fresh, new thing), dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Dan hal itu digenapi dalam Kristus, 2Kor 5:17 Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Dimana … semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (Yoh 1:12). Kali ini saya hendak memberikan pembahasan seputar “Menjaga Hati Sebagai Upaya Mencapai Keharmonisan Keluarga.” II. MENJAGA HATI DAN KEHARMONISAN PASANGAN SUAMI ISTRI Harmonis dalam bahasa Inggrisnya memakai kata congruent, yakni memiliki unsur utuh. Dalam hal ini jika sebuah pernikahan dikatakan harmonis harus memiliki satu keutuhan, dimana diri sendiri diperhitungkan, orang lain diperhitungkan, keadaan diperhitungkan dan itulah hidup yang “kreatif”, “indah”, “sehat”, “unik”, serta “mampu” melakukan kerja sama dalam tim pasangan suami istri (Pasutri). Dalam hal ini Les Parrot menggambarkan pernikahan bagaikan tarian cinta. Suami istri mengawalinya dengan kecanggungan menyeret kaki, tersandung, bahkan menginjak kaki pasangannya. Apabila mereka bertahan, berlatih terus untuk menjadi semakin selaras dalam gerak dan laku maka saat-saat sulit tetap dirasakan keindahannya bila kedua pihak pada akhirnya mengalami irama yang sama dalam gairah, keintiman dan komitmen. Prof. Dr. dr. Luh ketut Suryani, SpKJ (K) memiliki pandangan bahwa keharmonisan keluarga bisa terwujud jika anggota keluarga bisa bekerja sama sebagai sebuah tim, satu sama lain saling menghargai, menghormati, memerlukan dan mencintai. Stephano Ambesa juga mengatakan hal yang senada: “Keluarga adalah masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak (anak-anak). Keharmonisan antar anggota masyarakat kecil ini sangat menentukan keharmonisan masyarakat yang lebih luas. Keharmonisan itu dapat dicapai ketika tiap anggotanya menjalankan tugas panggilannya masing-masing. Untuk menjalankan tugas panggilannya tersebut, lebih dulu setiap anggota keluarga harus mengenali apa yang menjadi tugasnya.” (GNOSIS. Bunga Rampai Pemikiran Teologis. Jurnal Departemen Theologia Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia Tahun 2005. Hal 37). Keharmonisan suatu hubungan suami istri adalah terletak bagaimana masing-masing pasangan baik itu suami atau istri dapat dan mampu menjaga hati untuk melakukan kerjasama dalam mencapai tujuan hidup nikah mereka. Namun faktanya dalam menjalankan biduk rumah tangga pasangan suami istri tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya konflik. Untuk mengatasi konflik itulah suami istri harus mampu menjaga hatinya sebagai suatu usaha dalam menyelesaikannya demi menuju keluarga yang harmonis. Untuk lebih jelas mengenai bahasan hubungan suami istri saya sarankan untuk membaca tulisan saya dengan judul KESATUAN SUAMI ISTRI di Bethelight edisi 20 - Mei 2012 halaman 23-26. III. MENJAGA HATI DAN REKONSILIASI BAGI PENYELESAIAN KONFLIK PASANGAN SUAMI ISTRI Konflik dapat dialami oleh setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain. Konflik umum yang seringkali melanda gereja, yaitu antara lain: gossip dan fitnah, keluhan atas pemimpin gereja, ketegangan dalam keluarga, perceraian, perzinahan, menuntut saudara ke meja hijau. Konflik bisa terjadi dalam hubungan antara sesama anggota keluarga, anggota gereja, dan anggota masyarakat maupun dalam hubungan suami-isteri. KONFLIK DALAM PERNIKAHAN Konflik merupakan bagian dari kehidupan suatu pernikahan dengan berbagai penyebab yang seringkali membawa ke dalam kehancuran suatu pernikahan dan bahkan sampai pada tingkat perceraian, bukan pada kebahagiaan hidup keluarga. Itulah sebabnya, para calon suami-isteri (bahkan yang sudah menikahpun) harus dipersiapkan selain untuk mengantisipasi dan mengatasi kemungkinan-kemungkinan sumber konflik, mereka juga perlu dilatih untuk memecahkan masalah-masalah nyata dalam kehidupannya yang seringkali menjadi penyebab sumber konflik. Dalam kasus-kasus pernikahan yang terjadi di tengah-tengah jemaat, konflik terjadi ketika masing-masing pihak saling mempertahankan harga dirinya, karena tidak mau mengakui kesalahan yang dibuatnya. Dan juga, masing-masing pihak saling menuntut bahwa dirinya merasa benar dan butuh diakui oleh pasangannya. Dalam kasus tertentu, rekonsiliasi merupakan hal yang sulit untuk dilakukan atau bahkan mustahil untuk dilakukan dan akhirnya mengarah kepada perceraian. Bahkan ada seorang isteri yang merasa bahwa jika ia berdamai atau kembali kepada suaminya, maka ia akan merasa kesulitan dan tersiksa batin karena suaminya berlaku kasar kepadanya. Akhirnya tidak menutup kemungkinan, seorang isteri akan memilih untuk meninggalkan suaminya daripada hidupnya selalu dibayang-bayangi oleh rasa takut, tidak merasa aman dan nyaman. Dalam hal seperti itu, tidaklah mudah bagi seseorang untuk mengambil keputusan dalam situasi dan kondisi seperti itu. Namun, sebagai anak TUHAN yang mau dan rela untuk mengerti dan tunduk pada kehendak TUHAN, dan rindu untuk mendapatkan jawabannya, maka ia harus berjalan dalam terang firman TUHAN. Tidak ada cara lain untuk mengatasinya. Cara satu-satunya yang harus dikerjakan ialah masing-masing pihak harus datang kepada Yesus melalui kebenaran Firman-Nya dan saling merendahkan diri satu dengan yang lain (Efesus 4:32; 5:33). Ken Sande di dalam bukunya The Peacemaker mendefinisikan konflik itu sebagai sebuah perbedaan pendapat atau tujuan, sehingga dapat membuat frustasi terhadap tujuan atau keinginan yang ingin dicapai (Ken Sande, 2001:24). Jadi, perbedaan yang ada antara pasangan suami-isteri (pasutri), baik itu pandangan maupun tujuan bisa membuat seseorang menjadi frustasi dalam mencapai tujuan dan harapan-harapannya tersebut. Perbedaan sekecil apapun dapat memicu terjadinya konflik seseorang dengan orang lain, antar pasutri, bahkan perbedaan itu juga dapat menyebabkan keretakan hubungan yang bersifat sementara maupun permanen, yang pada akhirnya terjadi kepahitan terhadap pasangannya. Di sisi positif yang lain, perbedaan juga dapat menyatakan kebesaran TUHAN yang telah menciptakan setiap individu itu unik adanya, special in God. Masing-masing orang memiliki opini, gambaran atau perspektif, pendirian atau keyakinan, kerinduan, dan prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan budaya yang melatarbelakanginya. Hal yang paling penting di sini adalah bagaimana kita dapat menangani dan mengatasi perbedaan dari pihak-pihak yang berbeda. Baik itu beda dalam hal kebiasaan, temperamen, karakter, atau cara pandangnya. KONSEP REKONSILIASI Rekonsiliasi atau perdamaian merupakan suatu tindakan mendamaikan atau keadaan didamaikan, atau dengan kata lain sebagai proses membuat hubungan menjadi mantap, cocok atau harmonis (compatible, Webster’s Unbridged Dictionary of The English Language. New York: Portland house, 1989:1200). Contoh terbesar adalah “Rekonsiliasi Agung” yang telah dikerjakan oleh Allah Bapa kita di dalam Yesus Kristus adalah bahwa Allah telah mendamaikan manusia berdosa dengan diri-Nya melalui karya Yesus di kayu salib (bd. Kolose 2:13-14). Jadi, rekonsiliasi di sini merupakan suatu inisiatif, kreatif dan tindakan nyata yang pro-aktif, dimana pihak Allah-lah yang menjadi Juru Damai bagi kita. Konsep rekonsiliasi yang dikerjakan Allah dalam Kristus itulah yang (relevan) menjadi dasar rekonsiliasi bagi penyelesaian konflik dalam keluarga Kristen. Rasul Paulus menuliskan istilah rekonsiliasi dalam Perjanjian Baru dengan memakai kata kerja katallasso (Yunani) dan muncul sekali dalam hubungannya dengan relasi suami-isteri, atau dalam hubungannya antara sesama manusia (1 Kor 7:11). Lima kali dipakai dalam hubungannya dengan Allah dan manusia (Roma 5:10; 2 Kor 5:18,19,20). Sedangkan untuk kata benda katallage atau pendamaian muncul sebanyak empat kali (Roma 5:11; 11:15; 2 Kor 5:18,19). Sekarang bagaimana dan apakah makna rekonsiliasi bagi pemulihan hubungan bagi pasangan suami isteri yang sedang mengalami konflik? Istilah rekonsiliasi dalam 1 Kor 7:11 menurut Terjemahan Baru (TB) menggunakan kata “berdamai”. Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dan The Living Bible menerjemahkannya dengan “kembali kepada suaminya”. Sedangkan dalam teks Yunaninya kata rekonsiliasi digunakan kata katallageto (aorist-imperative) yang berarti suatu tindakan yang harus dilakukan oleh isteri, yaitu kembali menyatu dan membangun hubungan persahabatan dengan suaminya (bd. 1 Ptr 3:1-2). Kata dasar katallago (Yunani) berasal dari allaso yang berarti “berubah”, tetapi pada awalnya berarti “menukar”, yaitu menukar permusuhan menjadi persahabatan. Jadi, sebuah perdamaian merupakan tindakan aktif, bukanlah pasif. Isteri itu tidak mungkin diperdamaikan jikalau ia hanya pasif saja. Dalam hal ini, rekonsiliasi memiliki dua sudut pandang yang harus diperhatikan. Pertama sebagai ketaatannya terhadap perintah TUHAN; dan kedua menjaga supaya tidak jatuh dalam dosa percabulan. Rekonsiliasi merupakan suatu tindakan yang terbaik menurut Paulus. Mengapa? Alasannya adalah bahwa pada dasarnya rekonsiliasi dipandang sebagai langkah ketaatan kepada perintah TUHAN (bd. 1 Kor 7:10). Meskipun demikian, Paulus telah menyadari bahwa ada kemungkinan di dalam kondisi tertentu rekonsiliasi tidak dapat dilakukan lagi karena ketegaran hati masing-masing pihak (bd. 1 Kor 7:11). Implikasinya adalah jika rekonsiliasi dipandang sebagai ketaatan kepada perintah TUHAN, maka perubahan hubungan atau pemulihan yang diinginkan oleh pasangan suami istri tersebut dapat terwujud. Syaratnya adalah jikalau salah satu pasangan yang telah memisahkan diri dari pasangannya oleh karena sesuatu hal yakni konflik yang mengancam kehancuran rumah tangga mereka, maka ia harus kembali menyatu dan membangun persahabatan kembali dengan pasangannya. Hal itu juga disambut dengan respon yang baik oleh pasangannya. Hal inilah suatu bentuk “kompromi” dan “bekerjasama” dalam penyelesaian konflik dengan dasar masing-masing menyadari statusnya sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. BEING THE PEACEMAKER Menjadi juru damai merupakan sebuah komitmen untuk suatu usaha pemecahan konflik dalam hubungan suami istri secara Alkitabiah. Manusia berdosa telah diperdamaikan dengan Allah oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Oleh karena itu, kita yang percaya dan menerima Yesus secara pribadi dipanggil untuk menanggapi konflik dengan jalan yang berbeda sama sekali dari jalan dunia (Mat 5:9; Luk 6:27-36; Gal 5:19-26). Kita juga percaya bahwa konflik dapat memberikan kesempatan untuk memuliakan Allah, melayani orang lain, dan bertumbuh menjadi seperti Kristus (Roma 8:28-29; 1 Kor 10:31-11:1; Yak 1:2-4). Oleh karena itu, dalam menanggapi kasih Allah dan dalam menggantungkan diri pada anugerah Allah, maka perlu sebuah komitmen untuk menanggapi konflik sesuai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Allah dimuliakan dalam perkara ini. Pusatkan kepada kehendak dan kemuliaan Kristus dalam sebuah perkara atau konflik yang anda alami (Kol 3:1-4). b. Keluarkan balok di matamu. Dari pada menyalahkan orang lain untuk suatu konflik, kita percaya dalam kemurahan Allah bahwa kita dapat mengakui kesalahan-kesalahan kita kepada pasangan kita. Berbicaralah kepada TUHAN untuk membantu kita dalam mengubah sikap dan kebiasaan kita yang mudah menimbulkan konflik dan mencari cara untuk memperbaiki kesalahan yang menjadi penyebab konflik (Amsal 28:13; 1 Yoh 1:8,9). c. Pemulihan dengan kelemah-lembutan. Berbicaralah dengan lemah-lembut secara pribadi dengan teman konflik anda (Ef 4:29). d. Pergilah dan menjadi juru damai. Bersikaplah pro-aktif dengan mengejar kedamaian dan pemulihan sejati dengan cara yang saling menguntungkan, memaafkan orang lain sebagaimana Allah di dalam Kristus yang telah mengampuni segala kesalahan anda (Ef 4:1-3). A. Tanggapan Positif dalam Menanggani Konflik 1. Pendamaian secara pribadi dan menyampaikan keputusannya kepada Tuhan, dan harus pergi kepada orang yang tidak mau berdamai secara pribadi dalam usahanya dalam penyelesaian konflik. Memaafkan semua pelanggaran. Mengadakan rekonsiliasi. Lakukanlah negosiasi atau “kompromi”, dan “bekerjasama” dalam menyelesaikan konflik yang anda hadapi. 2. Pendamaian dengan bantuan orang lain (pendeta atau konselor). Cobalah mengunakan mediator atau bantuan orang lain. Mintalah seorang wasit untuk menjadi penengah anda. Jika sudah terlalu gawat, maka tugas seorang hamba TUHAN yang harus ikut di dalamnya untuk menjadi penasihatnya (disiplin formal gerejawi). B. Sepuluh Tips untuk mengatasi konflik ala Norman Wright 1. Pahamilah konflik yang anda hadapi. 2. Jangan mendiamkan suami atau isteri anda. 3. Jangan menimbun perasaan atau emosi anda. 4. Jika memungkinkan, siapkan setting (yaitu: suasana, tempat dan waktu) untuk menyatakan ketidaksepakatan anda. 5. Seranglah masalahnya, dan jangan orangnya. 6. Jangan “melemparkan perasaan-perasaan anda” kepada suami atau isteri anda. 7. Jangan lari dari dari pokok pembicaraan. 8. Sediakanlah jalan pemecahan bagi setiap kritikan yang anda lontarkan. 9. Janganlah mengatakan, “Anda tidak pernah…”. 10. Jangan menggunakan kritikan sebagai lelucon. Apabila anda salah akuilah, dan apabila anda benar diamlah!!! (Amsal 28:13) C. Delapan Tips menjadi pendengar yang baik ala Cecil G. Osborne 1. Jangan memotong percakapan. 2. Jangan biarkan pandangan anda berkeliaran, sebab anda akan terkesan tidak serius. 3. Cobalah berempati dengan perasaan pasangan anda. 4. Jangan memotong atau mengalihkan pembicaraan. 5. Jangan berusaha mengungguli cerita teman bicara anda. 6. Jangan mengkritik omongan teman bicara anda. 7. Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan yang tepat, jangan ngawur dan apalagi tidak nyambung. 8. Jangan berdebat dengan teman bicara anda. Dan jangan hancurkan permintaan maafmu hanya dengan sebuah alasan. Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat TUHAN (Ibrani 12:14). Selamat Menjaga Hati dan Selamat Mengalami Keharmonisan Dalam Keluarga Anda! And keep watch over your heart with all care; so you will have life. (Pr 4:23, BBE) Sumber Pustaka: - Alkitab. (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. 1990/TB/BIS/FAYH/JAWA). - Echols, John M. Kamus Inggris Indonesia. (Gramedia Pustaka Jakarta, 1990). - Les Parrott, Saving Your Marriage Before It Starts. (Zondervan Publishing House Grand Rapids, Michigan, 2001) - Prof. Dr. dr. Luh ketut Suryani, SpKJ (K), Kiat Mengatasi Badai Kehidupan Perkawinan (Jakarta: PT Intisari Mediatama, 2007. Hal. 224-225) - Osborne, C.G. Seni Bergaul. (Jakarta: BPK, 1996) - Sande, Ken. The Peacemaker: A Biblical Guide to Resolving Personal Conflict. (Michigan: Baker Books, 1997) - Stephano Ambesa, GNOSIS. Bunga Rampai Pemikiran Teologis. (Jurnal Departemen Theologia Badan Pekerja Harian Gereja Bethel Indonesia Tahun 2005. Hal 37). - Strong’s Hebrew and Greek Dictionaries. e-Sword –the Sword of the LORD with an electronic edge - Sutanto, Hasan. Perjanjian Baru Interlinier (Yunani-Indonesia) dan Konkordasi Perjanjian Baru (PBIK) Jilid I dan II. (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2003). - The Peacemaker Ministry, The Peacemaker: Responding to Conflict Biblically. (leflet: 2003). - ……….The Living Bible - Webster’s Unbridged Dictionary of The English Language. (New York: Portland House, 1989). - Wright, Norman, Bagaimana Berbicara dengan Pasangan Anda. (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar