Jumat, 23 Oktober 2009

KESATUAN SUAMI-ISTRI






PENGANTAR

Orang Kristen harus hidup sesuai dengan status dan kedudukannya sebagai anggota tubuh Kristus dan termasuk di dalamnya relasi dan interaksi antaranggota keluarga Kristen. Kesatuan antara suami-isteri dalam sebuah pernikahan seharusnya berpadanan pada wujud kesatuan relasi Kristus dan jemaat (Efesus 5:32).


Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya. (Efesus 5:31-33). (cetak miring oleh penulis)

Dalam ungkapan “rahasia ini besar” (Efesus 5:32) sangat erat kaitannya dengan hubungan keluarga Kristen. Kata “besar” merupakan sebuah perlambang, sebutan atau predikat yang dianggap dan menyatakannya sebagai suatu kebenaran (predicative), bukan sebagai kata sifat yang terletak langsung di depan atau di belakang kata bendanya (attributtive). Sesuatu yang dinyatakan dengan benar atau tepat, yaitu “this mystery is great”. Keterangan yang ada di dalam peryataan terdahulu bahwa “rahasia ini” adalah dalam kaitannya mengenai relasi gereja dengan Kristus, yaitu merupakan perlambangan dari relasi manusia di dalam sebuah pernikahan (Marvin R. Vincent, Vols III:403).

Kesatuan antara Kristus dan jemaat digambarkan melalui kesatuan relasi suami-isteri dalam sebuah pernikahan, yaitu area yang menunjukkan adanya sikap saling mengasihi dan memberkati antara yang satu dengan yang lain (Efesus 5:22-33). Paulus menyebut kedudukan Kristus dan relasinya dengan jemaat-Nya, yakni bahwa Kristus adalah kepala jemaat, Allah memberikan Yesus Kristus sebagai kepala (Yun. kephalen) dari segala yang ada, kepada jemaat yang adalah tubuh-Nya (Efesus 1:22-23; 4:15; Kolose 1:18,19). Jika masing-masing pasangan mengikuti perintah yang Allah berikan secara khusus (dalam Alkitab) kepada suami dan isteri, maka suatu pasangan bisa menjadi satu kesatuan seperti yang Allah maksudkan (Efesus 5:31).

Kesatuan suami-isteri dalam pernikahan memiliki tiga aspek: meninggalkan orang tua (ayah-ibu), bersatu dengan isterinya “berdampingan”, dan menjadi satu daging (Scheunemann, Volkhard dan Gerlinde. Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah. (Batu: YPPII, 2001); bd. Tulus Tu’u. Etika dan Pendidikan Seksual. (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1988).


Meninggalkan Orang Tua Menekankan Aspek Hukum

Ungkapan “akan meninggalkan” diterjemahkan dari bahasa Yunani kataleiphei dalam bentuk future-active-indicative (Efesus 5:31), yang berasal dari kata kataleipo. Kataleipo artinya meninggalkan, melalaikan, membiarkan, dan memberlakukan (Sutanto, 2003:434).

Maksud dari meninggalkan adalah secara aktif seorang anak yang akan masuk dalam pernikahan, harus mengasihi dan mencintai suami atau isterinya lebih dari orang tuanya. Mereka harus belajar melepaskan ketergantungan mereka pada orang tuanya dan belajar hidup bersama dengan suami atau isterinya.

Makna yang lebih dalam lagi dari “meninggalkan” adalah memutuskan semua ikatan yang lebih utama dari isteri maupun suami. Allah meminta seorang laki-laki untuk melepaskan semua ikatan dan hubungannya, karena salah satu kebutuhan terbesar seorang wanita di dalam pernikahan adalah rasa aman (Toni Evans, 1999:183).

Pembentukan rumah tangga atau sebuah pernikahan haruslah disertai kesediaan orang tua untuk melepaskan anak-anaknya. Ada kerelaan orang tua melepaskan anak agar ia bersatu dengan suami atau isterinya. Orang tua seharusnya tidak mencampuri rumah tangga anak-anaknya. Apabila dalam sebuah pernikahan masih ada intervensi dari pihak orang tua maka akan timbul masalah. Pernikahan antara suami-isteri haruslah disahkan oleh hukum atau pemberkatan gerejawi, sebagai kekuatan dalam kesatuan dan keamanan sebuah pernikahan yang diberkati Tuhan. Kekuatan hukum pernikahan menyatakan rasa aman dan perlindungan dalam hubungan sebuah pernikahan.

Bersatu atau Berdampingan Menekankan Aspek “Cinta” (Eros)

Jika unsur meninggalkan telah dilakukan memungkinkan untuk terjadinya unsur “bersatu dengan” atau berdampingan. Ungkapan “bersatu dengan” diterjemahkan dari bahasa Yunani proskollephesetai dalam bentuk future-pasive-indicative (Efesus 5:31). Kata proskollephesetai berasal dari kata proskollao yang berarti menyatukan (Sutanto, 2003:678).

Laki-laki (suami) akan meninggalkan orang tuanya dan menyatukan diri dengan isterinya. Hal inilah, seorang laki-laki atau perempuan yang tidak memiliki kesanggupan untuk melepaskan ikatan dengan orang tuanya, maka ia akan menemui kesulitan untuk bisa berdampingan atau “bersatu dengan” suami atau isterinya.

Allah mengatakan bahwa jika seorang laki-laki meninggalkan dan bersatu, ia dan isterinya akan menjadi satu daging (Efesus 5:31). Itu adalah sebuah janji. Jika seorang suami meninggalkan dan bersatu seturut dengan maksud Allah, isterinya akan menanggapi menurut cara yang diinginkan suaminya.


Menjadi Satu Daging Menekankan Aspek Jasmani “Seks”

Setelah proses “meninggalkan” dan “bersatu dengan”, maka tindakan dan maksud terakhir dari sebuah pernikahan Kristen adalah menjadi “satu daging” (Efesus 5:31).

Menjadi sedaging memperoleh urutan yang terakhir menunjukkan bahwa Alkitab menggambarkan tentang menjadi sedaging baru mungkin terjadi apabila setelah melalui proses meninggalkan orang tua dan kemudian hidup berdampingan dan bersatu dengan isterinya dalam sebuah pernikahan.

Ungkapan “menjadi satu daging” diterjemahkan dari bahasa Yunani duo eis sarka mian, yaitu rahasia dari “dua menjadi satu” (Efesus 5:31). Kata menjadi satu daging atau sedaging menyangkut soal keterbukaan satu dengan yang lain (dua pribadi yang telah dipersatukan oleh Allah di dalam pernikahan) dan termasuk di dalamnya adalah dalam hubungan biologis, yaitu keduanya menjadi telanjang dan tidak merasa malu (bd. Kejadian 2:25). Relasi suami-isteri merupakan wujud persahabatan yang sejati, di mana dalam persahabatan itu terdapat sikap transparan, yaitu saling terbuka satu dengan yang lain.

Jadi, kesatuan dari relasi suami-isteri merupakan refleksi dari hubungan Kristus dengan jemaat. Relevansi dari hubungan Kristus dengan jemaat adalah bahwa kesatuan suami-isteri di dalam Kristus itu tidak boleh mempunyai pikiran atau niat untuk bercerai, di mana sifat dari kesatuan suami-isteri adalah utuh di dalam Tuhan, menempel seperti lem atau saling melekat seperti cengkeraman jepitan, begitu erat dan tidak ada kemungkinan untuk pihak ketiga, yang dasarnya adalah cinta kasih.

Hubungan suami-isteri adalah hubungan yang kekal dan spiritual, yang misterius sebagaimana Kristus mengasihi gereja-Nya, begitu juga suami harus mengasihi isterinya.

Pada era terakhir ini terlihat banyak kejadian-kejadian yang melanda keluarga-keluarga Kristen, konflik dalam rumah tangga tidak bisa dihindari dan akhirnya menimbulkan ketegangan pada relasi suami-isteri. Ketidak-harmonisan relasi suami-isteri berdampak pada anak-anaknya, selanjutnya anaklah yang menjadi korban ketidak-harmonisan relasi orang tua mereka (Heath, 2005:9,41; bd Ted Ward, tt:9; Sasela, 2002:66)

James Dobson juga mengatakan, bahwa penyebab masalah yang timbul dalam pernikahan adalah:

Sebagian dari masalahnya adalah banyak pasangan yang memasuki bahtera pernikahan tanpa memiliki model panutan yang sehat dalam masa-masa pertumbuhan mereka.

Seandainya kini 50% dari keluarga bercerai dewasa ini, itu berarti setengah dari orang dewasa muda yang akan menikah hanya melihat perbedaan pendapat dan kekecewaan di rumah mereka. Mereka merasakan apatisme dan mendengar permusuhan yang menyedihkan di antara orang tua mereka. Tidaklah mengherankan jika kemudian para pasangan muda sering tertatih-tatih dan bahkan terpeleset dalam menjalani tahun-tahun awal pernikahan mereka. (2002:16)

Masalah timbul dalam sebuah pernikahan karena hakikat dari pernikahan itu sendiri kurang dapat dimengerti oleh para pelaku dalam pernikahan. Wright mengatakan bahwa pernikahan sebagai dasar pembentukan keluarga Kristen merupakan sebuah hadiah, sebuah panggilan untuk melayani, bersahabat, dan menderita.

Pernikahan adalah perjalanan yang harus dilalui dengan berbagai pilihan dan konsekuensi dan juga sebagai suatu proses pemurnian yang merupakan gaya hidup yang mencakup keintiman di segala aspek kehidupan, baik itu segi rohani, intelektual, sosial, dan emosi maupun fisik yang harus terus menerus dibina (Wright, 2004:9,10).

Lembaga pernikahan memberikan rasa aman dan nyaman dalam aspek hukum, di mana Dobson mengatakan, bahwa ikatan pernikahan mengacu kepada perjanjian secara emosinal yang mengikat pria dan wanita untuk bersama-sama menjalani kehidupan dan membuat keduanya benar-benar berharga satu sama lain. Keunikan inilah yang menempatkan mereka secara khusus terpisah dari setiap orang lain di dunia. Ini adalah pemberian Allah berupa teman hidup bagi yang telah mengalaminya (Dobson, 2002:28).

Faktor penting yang mempengaruhi dalam membangun sebuah keluarga yang harmonis adalah saling menghormati dan saling merendahkan diri satu sama lain di dalam Tuhan, di mana rahasia kesatuan pernikahan dapat terawujud (Efesus 5:21,33). Anak-anak menaati dan menghormati orang tuanya di dalam Tuhan, serta orang tua mengasihi dan mengasuh anaknya dalam kasih Kristus (Efesus 6:1-3). Ketika suami-isteri dan anak-anak tunduk serta takut kepada Tuhan, maka keluarga menjadi hal yang indah dan memberikan pengalaman yang menarik bagi anggota keluarga. Kenyataan seperti itulah, sehingga setiap anggota keluarga merasa saling melengkapi dan dicukupi apa yang menjadi kebutuhannya. Dengan demikian sebuah keluarga yang harmonis dalam Tuhan dapat terealisasikan.

Demikian juga Tong menegaskan, bahwa tujuan Allah dalam membentuk suatu keluarga adalah membesarkan anak-anak yang akan menjadi umat Allah, sehingga wakil-wakil Allah di bumi ini akan bertambah dan begitu pula dengan pengaruhnya, sehingga keluarga Kristen menjadi saksi Kristus di mana pun mereka berada (Tong, 1993:30).

Paulus menerapkan prinsip keharmonisan kepada suami-isteri (Efesus 5:21-33), orang tua dan anak-anak (Efesus 6:1-4). Kunci dari keharmonisan sebuah keluarga terletak pada hal merendahkan diri seorang kepada yang lain (Efesus 5:21,33). Sikap saling merendahkan diri tersebut menyangkut soal pengaturan bekerjanya suatu otoritas, bagaimana otoritas itu diberikan dan bagaimana otoritas itu diterima dalam relasi antar anggota keluarga Kristen, di mana masing-masing tidak mementingkan diri sendiri (Efesus 5:21,33; 5:23).

Ada sebuah slogan mengenai pernikahan yang mengatakan bahwa kunci menuju pernikahan yang sehat adalah dengan membuka mata selebar-lebarnya sebelum menikah dan setengah tertutup sesudah menikah (Thomas Fuller, dalam Memahami Pasangan Anda, 2001:170). Namun, kunci yang terbaik dalam meraih kebahagiaan dalam sebuah keluarga adalah bagaimana keluarga itu meletakkan Kristus sebagai pusat dalam kehidupan keluarga.

Lahaye juga mengatakan hal seperti di atas, bahwa jika Kristus tidak menjadi Tuhan dan kepala dalam sebuah keluarga, maka keluarga itu tidak akan pernah mengalami semua berkat Tuhan yang dikehendaki Allah terjadi dalam setiap rumah tangga yang dibentuk-Nya. Kristus adalah kunci terbaik untuk kebahagiaan di dalam pernikahan hidup berkeluarga.

Dobson juga mengatakan hal yang sama, bahwa untuk menjalin hubungan suami-isteri yang langgeng dan bahagia harus dibangun dan dipertahankan dengan berpusat kepada Kristus, yaitu melalui doa dan taat kepada firman Tuhan. Doa sebagai kekuatan dan penghiburan bagi setiap orang percaya, dan firman Tuhan yang memberikan pengajaran tentang bagaimana cara hidup bersama dalam suasana yang harmonis dan tentram, serta dapat menjamin kestabilan suatu pernikahan (Dobson, 2002:45,46).

Relasi Suami dengan Istrinya

Rumah tangga Kristen merupakan suatu gambaran mengenai hubungan antara Kristus dan jemaat. Allah mempunyai maksud dengan adanya sebuah pernikahan. Pertama, pernikahan sebagai dasar pemenuhan kebutuhan-kebutuhan emosional manusia, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja” (Kejadian 2:18). Kedua, pernikahan menyangkut aspek sosial dalam hal melahirkan anak-anak untuk melanjutkan keturunan “prokreasi” (Kejadian 1:28). Ketiga, tujuan fisik dalam pernikahan adalah untuk menolong pria dan wanita memenuhi kebutuhan seksualnya “rekreasi” secara wajar yang diberikan Allah kepada mereka (Kejadian 2:24-25; Efesus 5:31). Keempat, bersangkut-paut dengan aspek rohani dalam pernikahan (Efesus 5:22-23), di mana suami-isteri bersama-sama menikmati penyerahan diri pada kasih Kristus (Efesus 5:21; 6:5-8).

Dalam suratnya di Efesus, Paulus memberikan nasihat kepada keluarga-keluarga Kristen (Efesus 5:21-6:1-9). Relasi yang benar antar anggota keluarga Kristen adalah didasarkan akan rasa takut pada Kristus. Baik itu relasi antara suami-isteri, maupun orang tua dengan anak. Paulus kepada jemaat di Efesus mengatakan:

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya. (Efesus 5:22-25)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Paulus memberikan nasihatnya kepada para suami dan isteri dalam membangun relasi yang dapat dibenarkan di dalam Tuhan (bd. Filipi 1:27; 2:1-5). Suami sebagai kepala dalam sebuah rumah tangga dapat memiliki relasi yang baik dengan isteri, begitu juga isteri dengan suami.

Kegagalan atau hancurnya sebuah pernikahan karena laki-laki tidak belajar bagaimana menjadi seorang suami, di mana laki-laki atau suami itu dipanggil oleh Allah untuk menjadi pemimpin di dalam rumah tangga dan tidak seharusnya menuntut isteri untuk bertindak terlebih dahulu (Evans, 1999:176).

Seperti halnya sebuah relasi itu merupakan suatu keadaan yang tetap, maka relasi itu senantiasa berubah menuju pada keadaan yang lebih baik atau keadaan yang lebih buruk. Para isteri dan suami harus bekerja sama untuk menjadikan keadaannya lebih baik. Ini merupakan suatu pilihan, di mana suami-isteri memilih untuk bekerja sama demi membentuk suatu hubungan yang baik di dalam Tuhan, sesuai dengan kehendak Tuhan yang berpadanan pada hubungan Kristus dengan jemaat (bd.Efesus 5:31-33).

Sumber Pustaka:

Dobson, James.
tt Berani Mendisiplin. Jepara: Silas Press
(Asli: Dare To Discipline. Illionis, U.S.A).
2002 Cinta Kasih Seumur Hidup. Bandung: Yayasan Kalam Hidup. (Asli: Love For A Lifetime, Oregon, U.S.A).

Evans, Tony.
1999 Tiada Lagi Dalih. Bandung: Cipta Olah Pustaka.
(Asli: No More Excuses, Illionis, U.S.A).

Heath, W. Stanley.
2005 Teologi Pendidikan Anak: Dasar Pelayanan Kepada Anak. Bandung: Kalam Hidup.

Lembaga Alkitab Indonesia.
1990 Alkitab. Jakarta: LAI.

Lahaye, Tim.
2001 Kebahagiaan Pernikahan Kristen. Jakarta: BPK GM.

Moulton, Harold K.
1978 The Analytical Greek Lexicon Revised. Grand Rapids: Zondervan Publishing House.

Osborne, Cecil G.
2001 Seni Memahami Pasangan Anda. Jakarta: BPK Gunung Mulia. (Asli: The Art of Understanding Your Mate, Grands Rapids, U.S.A).

Sasela, Maarjes.
Komunikasi Suami-Isteri: Jembatan Menuju
Keluarga Bahagia. Jakarta: Novum Gracia Literatur.

Scheunemann, Volkhard dan Gerlinde.
2001 Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah. Batu: YPPII.

Sutanto, Hasan.
2003 Perjanjian Baru Interlinier (Yunani-Indonesia) dan Konkordasi Perjanjian Baru (PBIK) Jilid I dan II. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Tong, Stephen.
1993 Keluarga Bahagia. Jakarta: Lembaga Reformed Injili
Indonesia.
Membesarkan Anak Dalam Tuhan. Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia.

Tulus, Tu’u.
1988 Etika dan Pendidikan Seksual. (Bandung: Yayasan
Kalam Hidup).

Vincent, Marvin R.
tt Vincent’s Word Studies of The New Testament: The Epistles of Paul Vols. III (Romans, Corinthians, Ephesians, Phillipians, Colossians, Philemon). Virginia: MacDonal Publishing Company.

Ward, Ted.
tt Nilai Hidup Dimulai Dari Keluarga. Malang: Gandum Mas. (Asli: Values Begin at Home, Illionis, U.S.A).

Wright, H. Norman.
2004 Komunikasi: Kunci Pernikahan Harmonis. Yogyakarta: Gloria Graffa. (Asli: More Communication: Keys for Your Marriage, California,U.S.A)

2 komentar:

  1. Sebuah terobosan yang luar biasa melalui blog ini, saya senang sekali Anda menggunakan buku saya sebagai salah satu kepustakaan. Masih banyak yang harus diperbaiki dari buku itu dan saya sedang melakukannya sekarang. Tuhan Yesus memberkati. (email: jes_sasela@live.com; blog: http//serambisalomo.blogspot.com) GBU bro....

    BalasHapus
  2. Membantu didalam pelayanan pra nikah ...TYm

    BalasHapus